Dinamikabengkulu.com_Presiden Jokowi telah mengeluarkan instruksi untuk menghentikan ekspor Crude Palm Oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng dan minyak goreng itu sendiri terhitung Kamis 28 April. Itu artinya Presiden telah mengeluarkan pesan yang jelas dan sangat mudah dibaca.
Sebelumnya Kejaksaan Agung telah menetapkan Direktur Jendral Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardana sebagai tersangka korupsi bersama 4 orang lainnya dari kalangan swasta industri.
Dirjen didakwa memberikan fasilitas CPO dan turunnya yang terjadi dalam kurun waktu Januari 2021 hingga Maret 2022.
Tersangka dari swasta itu, Master Parulian Tumangor, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Stanley MA, Senior Manager Corporate Affairs PT. Pelita Agung Agrio Industri dari Grup Permata Hijau dan Piare Tagore Sitanggang, General Manager Bagian General Affairs PT. Musim Mas.
Jaksa Agung akan mengenakan UU Tipikor pasal Pasal 2 dan 3 dengan dakwaan maksimal seumur hidup bahkan hukuman mati.
Instruksi Presiden Jokowi itu memiliki dimensi, pasar Indonesia akan dibanjiri minyak goreng dan turunannya dan ini berimplikasi kepada harga minyak goreng yang tidak lagi “sangat mahal” seperti sekarang ini.
Instruksi itu timbul setelah sebelumnya, banyak tudingan negara tidak berdaya menghadapi industri minyak goreng dalam menekan harga minyak goreng untuk keperluan dalam negeri.
Beberapa kali pemerintah menetapkan kebijakan setelah harga minyak goreng begerak “liar” naik mencapai Rp 24.000/lt dari sebelumnya Rp 14.000/lt untuk minyak goreng kemasan.
Parahnya harga minyak goreng curah yang sebelumnya Rp 9.000/lt sesuai HET, juga “anteng”, naik mendekati harga minyak goreng kemasan. Sehingga di pasar, harga minyak goreng curah hampir tidak berbeda dengan harga minyak goreng kemasan.
Kalangan industri memiliki alasan, bahwa harga minyak goreng dunia naik tinggi, dan banyak negara tidak memperoleh minyak nabati setelah AS dan negara-negara Eropa memberikan sanksi kepada Rusia sebagai akibat dari Perang Rusia Ukraina.
Bahkan India, salah satu konsumen terbesar konsumen minyak goreng sawit meningkatkan permintaannya, termasuk beberapa negara Eropa yang mendiversifikasikan konsumsi kepada minyak sawit setelah minyak nabati asal Rusia tidak mengalir ke Uni Eropa.
Dengan dasar itu, harga minyak goreng untuk keperluan domestik dipaksa disamakan dengan harga ekspor atau mendekati harga ekspor. Sampai akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan penetepan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (DMO) dengan merubah harga HET.
Yang terjadi suplai minyak ke pasar tetap seret dan masyarakat susah mendapatkannya, bahkan di beberapa lokasi dan daerah tertentu terlihat spot antrian panjang.
Tudingan sinis dan negatif dialamatkan banyak pihak kepada kalangan pemerintah bahwa Departemen Perdagangan tidak berdaya menghadapi mafia minyak goreng dan negara “didikte” oleh kalangan industri minyak goreng.
Tudingan itu dikaitkan kepada issue sensitif yang menyangkut aspek politis kekuasaan Presiden Jokowi dan para anggota kabinet disekitarnya yang “kekeuh” untuk melaksanakan penundaan Pemilu.
Para taipan minyak goreng akan membiayai kebutuhan Jokowi untuk memenangkan kursi Presiden untuk ketiga kalinya. Makanya kalangan DPR lebih banyak diam. Aksi mahasiswa tempo hari, mencantumkan tuntutan penurunan harga minyak goreng.
Ketidakberdayaan itu, makin nyata ketika Departemen Perdagangan mengeluarkan kebijakan baru yang meniadakan DMO dan menyerahkan mekanisme harga minyak goreng ke mekanisme pasar.
Begitu kebijakan itu keluar, pasar-pasar modern dan supermarket, memajang minyak goreng dalam jumlah yang banyak dan tentu dengan harga yang tinggi, naik pesat dari sebelumnya Rp 14.000/lt menjadi Rp 25.000/lt.
Kemasan minyak goreng bermerek, bahkan sekalipun belum lazim di ingatan konsumen juga “anteng” menetapkan harga tinggi mengikuti harga minyak goreng ternama, sebutklah Filma, Bimoli, Sania, Tropikal, SunCo, Sania dan Fortune, di rak pajangan beberapa Supermarket dengan harga yang tidak murah.
Di pasar becek pun harga minyak sulit didapat dan jika ada, harganya telah mendekati harga minyak goreng kemasan.
Melihatkan power
Histori kenaikan harga minyak goreng dalam waktu singkat itu, ibarat drama, yang memperlihatkan betapa kebijakan negara dapat dipermainkan dan kebutuhan masyarakat disepelekan. Padahal lahan yang dipergunakan dalam pembukaan kebun=kebun sawit masih sebagai lahan negara dengan status HGU.
Kondisi itu memperlihatkan betapa sangat powerfull nya pelaku industri minyak goreng. Disisi lain terlihat betapa lemah, tidak berdaya dan tidak ada artinya negara dalam dimensi kebijakan publik untuk memberikan perlindungan kepada warganya,
Akhirnya, partai pendukung Jokowi, PDIP yang tidak setuju dengan rencanaan penundaan pemilu, gerah dengan situasi ini.
Aroma ini menjadi liar dengan isyu yang menebal, bahwa memang terjadi gangguan hubungan Jokowi dengan PDIP dan Ketua Umumnya, Megawati. Sampai akhirnya, dalam waktu yang mendadak Kejaksaan Agung menetapkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri sebagai tersangka korupsi.
Kejaksaan Agung merupakan domain PDIP. Kelangkaan minyak goreng yang terjadi sekarang dikarenakan Dirjen banyak mengeluarkan izin pemberian ekspor minyak goreng dan turunannya kepada kalangan tertentu. Sehingga CPO dan minyak deras mengalir memenuhi pasar ekspor.
Presiden yang dipertontokan dari drama kabinetnya, merasa gerah juga sehingga mengeluarkan kebijakan baru yang tidak disangka, yakni menghentikan seluruh ekspor minyak goreng dan turunannya, serta CPO terhitung mulai Kamis.
Berarti kebutuhan domestik sebanyak 5 juta ton akan terpenuhi, karena pasar ekpor yang selama ini di suplai kalangan industri sebanyak 50 juta ton sangat lancar distribusinya.
Instruksi Jokowi menafikan tidak ada alasannya minyak goreng menjadi langka, “angkuh” bertengger tinggi.
Berarti pasar domestik akan dibanjiri minyak goreng dan harga bisa kembali ke Rp 14.000/lt bahkan dapat lebih rendah lagi.
Jokowi kali ini membuat kebijakan yang dapat dibaca dimensinya. Kalau akhirnya pasokan tetap kurang berarti tudingan mafia minyak bermain menjadi nyata.
Mafia bisa jalan akibat back up dari kalangan-kalangan tertentu yang memiliki power dan kekuasaan. Sangat mudah mencari mereka.
Disisi lain kalau harga tetap tinggi, KPPU atau Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha tidak bisa untuk tidak memperlihatkan tajinya. Power, mafia, monopoli dan penghentiaan ekspor dalam tatanan kenaikan harga minyak serta gerakan Jokowi menghentikan ekspor, memiliki dampak yang gampang dibaca.
Jokowi dan masyarakat memiliki kata kunci untuk melihat selanjutnya, ditengah tidak adanya peran lembaga rakyat atau DPR – RI untuk mencoba membuat aksi aksi nyata yang berpihak kepada masyarakat.***